Artikel : Sampah dan Pendidikan Kita

sekolah, pendidikan, kompos, sampah,
Sampah dan Pendidikan Kita
Oleh Hasanudin Abdurakhman

"Bagian hulu dari persoalan sampah kita adalah pendidikan."

Ridwan Kamil mati-matian membantah soal sampah di sungai Cikapundung. "Tidak ada bukti bahwa itu sampah berasal dari Bandung," katanya. Kelakuannya sama dengan Ahok. Ketika aparatnya menemukan kulit kabel yang menyumbat got, ia langsung menuduh itu adalah upaya sabotase. Usut punya usut ternyata kulit kabel dalam jumlah sangat banyak itu adalah sampah lama yang belum pernah dibersihkan oleh aparat Pemda DKI. Keduanya memberikan pendidikan buruk kepada masyarakat, berupa contoh pemimpin yang suka berdalih, alias ngeles, menolak persoalan. Dalam bahasa Inggris, yang demikian itu disebut denial (pengingkaran). Kehebatan pemimpin tidak sekedar terletak pada kemauannya untuk bekerja keras menyelesaikan persoalan masyarakat, tapi juga pada kemauannya untuk mengakui kekurangan.

Soal sampah, ada begitu banyak hal yang harus kita kerjakan. Persoalannya panjang, dari hulu sampai ke hilir, persis sama seperti panjangnya perjalanan sampah itu dari hulu sungai hingga ke muara. Itu pun bukan akhir perjalanan. Ia kemudian akan mengotori lautan.

Beberapa kali saya membawa anak-anak main ke daerah hulu sungai. Saya sungguh suka dengan sungai. Suara gemericik arus air, beningnya air, di tengah suasana teduh dan sejuk di bawah rimbunnya pepohonan, sungguh mendamaikan hati. Namun, hampir pada setiap kesempatan, kedamaian itu terusik oleh sampah. Ya, sampah-sampah, khususnya sampah plastik, sudah kita temukan sejak di tengah gunung, di hulu sungai.



Bagian hulu dari persoalan sampah kita adalah pendidikan. Dengan sedih saya harus katakan bahwa rakyat bangsa ini tidak mendapat pendidikan memadai perihal sampah. Bahkan untuk sekadar soal cara membuang sampah pun kita tidak terdidik. Tetapi, bukankah dalam berbagai mata pelajaran kita diajarkan untuk membuang sampah dengan benar? Ya, dan itulah masalah fundamental dalam pendidikan kita. Pendidikan kita hanya membuat kita tahu, tetapi tidak mengubah perilaku.

Dalam keseharian, kita sangat sering melihat orang buang sampah sembarangan. Dalam pandangan saya, dunia kita dipenuhi oleh "zombie pembuang sampah". Sering saya perhatikan wajah orang yang membuang sampah sembarangan itu, dan saya tidak temukan raut rasa bersalah. Sepertinya gerakan tangan mereka waktu membuang sampah itu memang tidak dikendalikan oleh otak.

Yang lebih miris adalah pemandangan di sekolah. Pernah, suatu hari, saya hadir di sekolah anak saya. Hari itu ada olimpiade, pertandingan antar sekolah di bawah yayasan yang mengelola sekolah, menghadirkan sekolah-sekolah di bawah yayasan itu dari seluruh Indonesia. Ada ratusan guru dan siswa yang hadir. Setiap orang makan dan minum, lalu membuang sampah begitu saja di tempat mereka duduk atau berdiri. Dalam sekejap halaman sekolah berubah menjadi lautan sampah. Tempat sampah disediakan di sana-sini, tetapi jumlahnya tak cukup. Selain itu, masalah utamanya terletak pada manusia-manusia yang memang tak terlatih untuk membuang sampah dengan benar.

Di lain waktu, ada acara lagi, walau skalanya hanya lingkup internal sekolah itu. Kejadian yang sama terulang, orang-orang membuang sampah sembarangan. Saya minta guru yang jadi panitia untuk memberi perhatian soal ini. "Iya, Pak," jawabnya. Lalu ia mengumumkan, "Anak-anak, mohon agar tidak membuang sampah sembarangan." Sudah. Seruan itu berlalu begitu saja. Tak tahan lagi, saya seret sebuah tempat sampah besar yang tadinya diletakkan di tempat yang tak terlihat. Saya bawa ke tengah arena acara. Lalu saya mulai memunguti sampah-sampah, memasukkannya ke tempat sampah. Orang-orang di sekitar mulai tersadar, lalu tergerak untuk membuang sampah mereka ke tempat sampah itu. Dalam pertemuan dengan guru-guru saya sampaikan kritik secara terbuka kepada kepala sekolah. Ia berjanji akan memperhatikan. Kini, kalau ada acara di sekolah, pihak sekolah menyiagakan sejumlah tukang pungut sampah! Luar biasa.

Persoalan pendidikan kita adalah soal pemahaman tentang pendidikan itu sendiri, yang direduksi menjadi sekadar pengajaran. Itu terjadi baik di rumah maupun sekolah. Anak-anak kita tahu bahwa sampah harus dibuang pada tempatnya, tetapi tidak terampil dalam membuang sampah. Tangan-tangan mereka tidak dibiasakan untuk membuang sampah dengan benar. Maka, yang menjadi kebiasaan adalah hal sebaliknya, membuang sampah sembarangan. 

Anak-anak kita dilatih untuk menjadi pelafal dan penghafal, bukan pelaku.

[Dikutip dari buku Melawan Miskin Pikiran: Memenangkan Pertarungan Hidup ala Kang Hasan, hal. 32-35]

No comments:

Post a Comment